Oleh: N. A. Rizki (Anggota
Presidium Gerakan kebudayaan Sumatera Barat)

Meski UU ini sempat menuai pro dan kontra; pilkada langsung atau
tidak, kita anggap saja itu bagian dari dinamika dalam berdemokrasi. Proses
pembelajaran dalam berdemokrasi terus berkembang ke arah yang lebih baik. Pada
akhirnya melahirkan pemilihan kepala daerah serentak dengan salah satu argumen
yang paling kuat demi efisiensi anggaran.
Komisi Pemilihan Umum secara nasional telah menetapkan jadwal
pemilihan kepala daerah digelar 9 Desember 2015. Pilkada serentak 2015 secara
teknis diatur melalui Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Program
dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Pilkada serentak yang sudah di depan mata, ada baiknya kita tinjau
kembali beberapa argumen yang mengkhawatirkan, di antaranya tingginya potensi
konflik horizontal. Juga berkembangnya politik peninggalan Belanda, yaitu
politik adu domba dengan memainkan isu SARA (suku, agama, ras dan
antargolongan).
Semestinya, perilaku politik tersebut sudah kita buang dan kubur
dalam-dalam di Samudera Hindia. Sebab, ini tidak baik dalam demokrasi kita,
yang menganut asas Pancasila.
Gerakan Perubahan di Jalan Budaya
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, terdiri dari berbagai
suku, etnis dan agama. Oleh karenanya, Indonesia juga memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda. Kemajemukan ini adalah kekayaan dan rahmat bagi Indonesia
yang harus kita syukuri. Perbedaan inilah yang akan tampil mewarnai kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga lebih indah, damai dan maju. Bukan sebaliknya,
perbedaan malah menjadi suatu bencana bagi umat dan bangsa kita.
Ruang dan waktu kampanye yang diberikan oleh KPU, ada baiknya
dimanfaatkan sebagai momen melestarikan budaya lokal ataupun nasional. Seperti
dengan mengadakan festival budaya lokal, kesenian tradisional, puisi, pantun
dan lain sebagainya.
Dengan menampilkan keanekaragaman budaya tersebut, secara tidak
langsung para kontestan pilkada telah ikut andil dalam melestarikan budaya
bangsa kita, yang sudah mulai memudar akibat pengaruh dari budaya luar atau
westernisasi.
Menebarkan kembali benih-benih cinta tanah air, nilai-nilai
kebangsaan dan kearifan lokal yang sudah mulai terlupakan akibat dari
globalisasi dan westernisasi yang semakin menggorogoti budaya bangsa Indonesia.
Calon kepala daerah jangan hanya jualan dan bualan janji, dengan berpenampilan
bagaikan malaikat yang seolah-olah begitu gampangnya akan menyelesaikan
persoalan-persoalan daerah.
Gerakan dan kegiatan kebudayaan tersebut tentu akan lebih
bermanfaat secara langsung juga bagi masyarakat. Dan, akan membawa perubahan
yang lebih baik dan nyata bagi masyarakat di tengah degradasi moral yang
melanda bangsa kita hari ini.
Momen pilkada serentak ini, mari kita jadikan sebagai gerakan
nasional pilkada yang berbudaya, yakni Gerakan Perubahan di Jalan Budaya. Di
mana kembali kita mengenali dan melestarikan budaya bangsa karena kebudayaan
merupakan ruh dan jati diri bangsa dalam bernegara. Di mana, tinggi rendahnya
martabat bangsa sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya budaya itu sendiri.
Dalam proses sosialisasi calon kepala daerah dengan menggelar
kegiatan-kegiatan yang berbudaya, akan menunjukkan kedikdayaan bangsa kita,
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dan berbudaya. Salam Gerakan
Perubahan di Jalan Budaya. (*)
Sumber: Harian Padang
Ekspres, Senin 14 September 2015
0 Comments:
Posting Komentar